Jumat, 08 Juli 2011

XIE XIE NIN XIANG XIN

Pagi ini, hari ini . . .

Hari di mana ku sadari ada mentari yang begitu manis menyapaku. Saat aku melaju bersama pipi di atas aspal jalan layang. Sebelum aku lanjutkan lebih dalam, perlu diketahui pipi adalah kendaraan yang dapat menghantarku dengan dua kakinya yang bundar. Dua kaki yang berlapiskan karet, yang baru berumur muda beberapa bulan saja. Keturunan kulit hitam dengan tubuh yang langsing, sejenis bebek yang langsing dan yang jelas dia masih mengeluarkan asap sambil mengaum cempreng. Pipi motor 2 TAK.

Okay, aku bingung hanya karena melihat mentari pagi ini saja sudah dapat membuatku sangat bersemangat. Dia seolah-olah berkata padaku dengan kencang alias ‘berteriak’ kalau hari ini indah dan hangat. Baru kali ini aku bisa mengerti bahasa yang benar-benar asing, bahasa mentari.
Kulibatkan hariku dengan semangat dan senyum di tempat kerja. Sebelum akhirnya jam kerjaku habis bersamaan dengan datangnya hujan yang tak diundang. Aku melaju di bawah hujan rintik berusaha memenangkan perlombaan balap motor tapi lawanku kali ini adalah rintik hujan yang bisa kapan saja berubah menjadi hujan deras.

Aku kalah.

Di lap terakhir aku benar-benar terguyur olehnya. Tapi ada kepuasan tersendiri yang luar biasa saat kupalingkan wajah sedikit menengadah ke atas. Dia masih dapat terlihat dengan indah, gagah sekali sinarnya di tengah raih hujan yang mendesir tersentuh oleh angin. Dia masih mempercayaiku walau kali ini dia tidak berteriak tapi dia tersenyum dan berkata lembut, “kamu hebat.”

Malam menjemput . . .

Kokok ayam menyambut pagi disertai bau yang paling aku sukai, hio . . .
Hari ini yang kemarin aku namakan hari esok. Kali ini aku ingin melihat apakah dia manis seperti hari kemarin. Layaknya hari itu yang sebenarnya menjadi hari ini juga sewaktu kemarin hari. Melaju gesit di atas jalan layang yang sama.

Dia tersembunyi apa tersembunyikan?

Kabut menutupi hampir semua langit yang terlihat olehku. Hawa embun pagi menyapaku kali ini tidak hangat sama sekali.

Kamu di mana, mentari?

Apa kamu punya masalah pagi ini?

Atau kabut-kabut itu memaksamu untuk melenyapkan sinarmu?

Aku tetap melaju dengan otakku yang dipenuhi kekhawatiran. Ku tengadahkan kepalaku, dia tidak ada. Ku ambil nafas sambil berhenti di lampu merah, benar-benar persimpangan yang besar seperti persimpangan yang harus kita pilih dalam menjalani hidup kita. Tapi bukankah banyak yang melanggar lampu merah? Ehm, boleh juga kalau tidak ada polisi. Aku tersenyum simpul. Kurasa begitu juga kehidupan terkadang perlu melangggar rambu-rambu yang dibuat masyarakat saat tak ada polisi kehidupan yang melihatku. Hidup yang berani untuk berwarna.

Sekali lagi kupalingkan mataku melihat kiri dan kanan langit yang berkabut itu, dia tak nampak sama sekali. Sekali lagi ku perjuangkan harapanku pagi itu, ku pejamkan mataku sambil menengadahkan kepalaku benar-benar membentuk sudut 90 derajat lalu kubuka mataku perlahan. Dia tak jelas terlihat tapi sulit dibayangkan karena dari semua mega-mega yang berkabut, hanya ada satu wilayah kecil tepat di atasku mengeluarkan sinar kabur. Sinar kabur itu sekarang berbisik padaku, “terima kasih atas hari ini karena kamu juga mempercayai kalau aku tetap ada untukmu. “

Aku tersenyum sungguh itu adalah senyumku yang paling tulus seperti saat kulihat senyumku waktu kecil. Kuperintahkan tangan kananku untuk segera menjalankan pipi sembari hati berkata, “terima kasih kembali karena membuatku berani untuk mempercayaimu.”


on Thursday, August 20, 2009 at 10:57am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar