Jumat, 08 Juli 2011

DINGINNYA IBUKOTA

Pojok Jakarta dari Tol

Ku pelajari nasib yang membawaku ke alunan kota Jakarta. Tak kupelajari secara detil seluruh kehidupan Jakarta hanya sekilas pandang dari taxi yang kutumpangi. Itu saja cukup untukku melampaui semua cerita yang melintas di benakku mengenainya. Dingin. Satu kata tunggal yang menginspirasiku saat menginjakan kaki di tanah Metropolitan ini.

Berbaris bangunan-bangunan di tengah kesadaran para manusia Jakarta. Sejenak semuanya membenamkan angan-anganku ke prajurit yang berbaris di kemiliteran, itulah bangunan Jakarta tapi kalau di kemiliteran semua pakaiannya sama, tapi tidak dengan bangunan-bangunan ini. Bangunan-bangunan ini bisa menjadi sebuah pengartian atau jawaban yang tepat bila ada orang yang bertanya apa arti dari kasta pada jaman kerajaan dulu itu? Bangunan itulah yang kulingkari di lembar ujian pemahamanku mengenai Jakarta.

Pojok Jakarta yang sering orang-orang lewati saat mereka menunggangi kendaraan berempat mereka dengan tanda membayar dulu lima ribu lima ratus untuk melaluinya, tol dalam kota. Pojokan itu membentuk notasi yang naik turun, terlihat perumahan kumuh yang bergandeng dengan bangunan lain bernotasi tinggi. Berdekatan bukan mengartikan adanya kehangatan dan keakraban dari umat yang meninggali tempat itu.

P-U-Z-Z-L-E…

Susunan. Bukan. Layaknya tempat tinggal yang di huni banyak perbedaan dari berbagai segi kehidupan. Banyak kisah dan penghentian nafas perjuangan untuk menelusuri kehidupan ini. Rumah susun, itulah julukan indah yang dikenal orang-orang termasuk diriku. Perjalanan memapahku melihat rumah susun yang bergelantungan pakaian-pakaian, entah itu pakaian yang sudah lama atau yang baru mereka beli. Cat yang sudah luntur menambah keenggannan mata untuk memperhatikannya. Dingin, saat kamu melihatnya dari kacamata pojok kesuksesan orang-orang Jakarta.

Apart-men-t…

Sama seperti pembacaan saat kata-katanya berdiri single. Ada yang membatasinya. Banyak kemewahan yang dihantar dengan tebusan uang yang menjadi reinkarnasi dari peluh keseharian. Aku mencari kata yang cocok untuk mengukir kehebatan sekaligus kekurangannya, bagaimana dengan kehidupan yang terkotak-kotak oleh emas. Berharga tinggi namun tidak ada yang membuatnya berjiwa alami. Dingin, itulah yang ingin kusampaikan lagi.

Taxi yang kutumpangi tetap berjalan terus di jalan tol yang seharusnya tidak macet namun kebalikannya ada kemacetan yang terjadi entah mengapa. Kulihat ada papan yang bertuliskan jaga jarak aman kendaraan anda. Tidak ada lagi jarak yang akan dipedulikan oleh para pengendara-pengendara ini karena sesungguhnya mereka tidak mau mengenal orang lain. Di lihat dari klakson yang sudah seperti melodi yang sangat disukai. Apa yang mereka inginkan dari suara klakson-klakson itu, tak tahukah mereka walaupun mereka mengklakson bersamaan dan beratus-ratus kali sehingga membuat suatu orchestra, yang mungkin Beethoven pun akan menangis mendengarnya. Bukan terharu. Tapi meringkuk sedih. Padahal mereka tahu kalau kendaraan yang di depan mereka itu tidak mengikuti prinsip gerak jalan namun lebih menyukai hukum kelembaman, mengaum di tempat.

Kacang dan air mineral...

Bisnis yang luar biasa yang dilakukan oleh banyak anak kecil di jalanan. Dari semua yang kulihat hanya satu dari mereka yang memakai alas kaki. Masuk ke logika fisika, jalan beraspal itu sudah pasti panas karena dikenai cahaya matahari. Belum lagi tambahan bumbu gesekan aspal dengan ban-ban kendaraan yang selalu kerja rodi tanpa mereka bisa berkata cukup, aku lelah. Para penunggangnya tidak cukup sensitive dan cerdas mengenai kebotakan dini yang telah terjadi pada pasangan setianya itu, ban botak. Tidakkah kaki-kaki kecil itu melepuh di hamparan pengorbanan untuk hidup di sana?
Jembatan layang dan tol yang berterbangan di Jakarta seperti memaki kasar kepada dunia karena begitu banyak rumah persinggahan para manusia yang berada di bawahnya. Anak kecil berlarian sambil tersenyum menggiring bola yang dimainkan dengan cukup lihai. Menggiringnya dan mengoper ke temannya. Semua itu berlangsung di samping istana kesederhanaan suatu kemiskinan mereka. Taman bermain di bawah jembatan layang dan tol Jakarta. Adakah semua memperhatikan senyum mereka itu?
Bercuaca panas beriklim hati dingin. Sampai kapan mereka menyadari betapa kokohnya es yang mengganjali hati mereka layaknya tumor yang sewaktu-waktu dapat menjadi kanker yang tidak bisa lagi menyadari kesembuhan. Hanya memakan sel-sel kehidupan orang lain hanya untuk kehidupannya sendiri.

Dingin . . .

“Maukah kamu membelikanku selapis tipis saja kain?”

Friday, August 14, 2009 at 11:40am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar