Selasa, 09 April 2013

Hanya aku dan impianku

Kutarik napas sembari mengingat,
Ah, sudah bulan April 2013, tepatnya tanggal 10 ya 24 menit lagi.
Andai ada yang bisa memelukku dan membuat lidahku bercerita...

Cerita tentang anak manusia,
Yang sudah berusia hampir seperempat abad,
Namun masih bisa untuk bermimpi,
Masih bisa untuk mempercayai keajaiban...
Yah, seperti seorang anak kecil yang di malam natal mempersiapkan kaos kaki merah,
Yang masih menaruh gigi tanggal di bawah bantal untuk peri datang mengambil memorinya.
Masih menulis doa tentang impian di malam natal.
Dan masih percaya Santa datang dan tidak pernah pergi dari hatiku.

Aku anak dari keluarga sederhana,
Orang tua yang cukup sederhana dalam mendidik anak-anaknya, hingga sarjana.
Orang tua yang cukup sederhana untuk tetap berada di rumah memperhatikan anaknya.
Orang tua yang cukup sederhana dengan caranya berkata,
Hingga anak-anaknya mengerti apa itu sopan santun, apa itu tanggung jawab,
Dan apa itu cinta.
Orang tua yang cukup sederhana dalam meminta.
Dan aku berharap, orang tua yang sederhana untuk percaya aku bisa.

Aku hanya memiliki beberapa teman yang membuatku nyaman,
Tidak banyak, tidak juga luar biasa, tidak juga dekat keberadaannya,
namun cukup sempurna untuk membuatku ada.
Jadi tidak heran, jika aku lebih merasa menulis cerita di sini lebih indah
Dibandingkan duduk di hiruk pikuk kota metropolitan bersama 'teman' yang sebenarnya
Tidak mengenaliku.

Aku percaya jika orang lain bisa, pasti aku pun bisa.
Bila orang lain menyerah, saatnya untuk aku percaya masih ada cara.
Di atas semua itu, karena aku percaya dengan apa yang tidak dilihat mata,
Yang tidak didengar telinga, dan yang tidak timbul di dalam hati,
Semua disediakan Tuhan.

Aku hanya percaya.
Aku hanya berusaha.
Dan aku hanya perlu tetap menjaga impian-impianku dalam doa.

Namun...
Kata mereka, aku terlalu idealis.
Kata mereka, aku tidak rasional.
Kata mereka, aku berbeda.
Kata mereka, aku hanya orang yang melankolis.
Kata mereka, aku pemimpi.
Kata mereka, aku pemberontak.
Kata mereka, aku labil.
Kata mereka, aku tidak menapak di realita dunia.
Dan...
Mereka berkata, aku gila dengan impianku.

Aku memang berjalan melawan kebiasaan yang ada dan
Itu terasa seperti,
Di jalan yang panjang dan lurus, aku seakan terlihat berjalan melawan arah arus.
Lama aku merasa seperti dan itu kadang menarikku ke dasar titik terendah percaya diriku.
Sampai malam ini...
Aku mulai mengerti,
Arus mana yang sebenarnya.
Arus di mana setiap impian kita sendiri berada bukan impian orang lain yang ditaruh di diri kita.