Jumat, 08 Juli 2011

TIME

Ku lihat jam tanganku dengan dua alisku yang berkerut mendekati titik tengah dahiku. 12: 34: 56. Tanda berpikir. Kuputar cepat tubuhku lalu kucondongkan ke arah kalender yang terpampang di kamar kosku. Tanggal 7 Agustus 2009. 7-8-’09. Sepertinya ada sesuatu yang mengajakku untuk berseru dalam otakku. Yup, ini keren coba perhatikan dengan seksama 12:34:56----7-8-’09. Logikanya angka itu semua berurutan 123456789. Sesuatu yang hanya terjadi sangat singkat dalam perubahan detik saja semua berubah. Satu kali dalam kehidupanku. Jika aku ingin mengulangnya, terbang saja menuju tempat yang lebih lambat waktunya dari tempatku berpijak sekarang, Yogyakarta. Misalnya ke Amerika yang lebih lambat sekitar 8jam.

Einstein . . .

Kata salah satu ilmuwan itu bahwa kita tidak hanya berhadapan dengan panjang tapi juga ruang dan waktu. Sekarang tidak hanya alisku yang berkerut tapi mataku sudah hampir juling karena dari tadi melihat deretan angka tadi yang kuabadikan dalam selembar kertas buram. Aku adalah salah satu anak manusia yang terdonori darahnya dari kecil oleh sosok kartun jepang yang terkenal dengan pintu kemana saja. Doraemon. Begitu banyak pertanyaan yang lewat di pikiranku menunggu untuk diambil dan dikaji lebih lanjut. Selang beberapa detik dengan sigap kuambil satu kalimat pertanyaan dalam otakku. ‘Apakah alat pengatur waktu untuk mengulang atau memajukan waktu itu ada dan bisa dibuat?’. Pertanyaan yang dangkal. Lalu kupikirkan lagi dan tiba-tiba satu pernyataan bergandeng erat dengan pertanyaan mengapung di permukaan pikiranku. ‘Jika alat itu ada pun, apa yang ingin aku lakukan dalam kehidupanku, ingin mengulang masa lalu ataukah ingin memajukan waktu ke masa depan, bagaimana jika dengan seenaknya bisa berbuat salah lalu memutar balikkan lagi dan menghapus semua kesalahan-kesalahan itu’ (aku tidak tahu kalimat ini harus diakhiri dengan tanda tanya atau titik).

Masih berpikir.

Sebelumnya, aku begitu banyak masa lalu yang aku anggap jelek dan berharap bisa memperbaiki dengan mengulang waku. Tapi serasa tertampar, apa setelah aku mengulangnya dan memperbaikinya, semuanya akan baik-baik saja, setidaknya lebih baik dari yang sekarang aku miliki? Dan apakah setalah semuanya terulangi aku akan berkata puas?

Dasar diriku yang adalah manusia . . .

Semuanya jadi tidak terlihat mudah dari sudut pandang manusia seperti diriku yang selalu mengambil keputusan dalam bayang puas atau tidak puas.

Satu hal yang baru kusadari bahwa dari tadi aku berpikir sampai sekarang aku masih berpikir, waktu terus berjalan angkuh. Aku heran ada sesuatu yang begitu cuek dan angkuh. Terus berlalu walau dia tahu banyak orang memerlukannya sejenak untuk berhenti dari kepenatan dunia, yang dengan cerdasnya dibuat oleh manusia-manusia itu sendiri. Aku tidak tahu apakah di kerajaan para hewan juga merasakan hal yang sama kerajaan para manusia. Angkuh sekali. Berjalan tanpa ada sesaat menoleh ke belakang atau pun melirik ke kanan dan ke kiri. Padahal banyak yang mengejarnya seitap hari tapi tetap saja tidak dia hiraukan. Kadang terasa dia berjalan berirama tenang, terkadang terasa seakan aku juga ikut berlari mengejarnya. Sampai di titik penantian sungguh terasa dia berjalan sangat lama, langkah-langkahnya begitu berat, ingin sekali ku tarik dia agar cepat berjalannya. Namun dari hari ke hari tetap saja dia angkuh sekali. Siapa sich yang menamainya ‘waktu’?

Silsilah keluarga sang waktu.

Sebenarnya siapakah orang tuanya? Di manakah tempat kelahirannya? Mengapa dia tidak bisa mati? Karena dari dulu dia hanya berjalan saja dengan angkuh seakan-akan ingin menunjukkan pada dunia dan seisinya bahwa hanya dialah yang akan hidup terus dan awet muda di kalangan usia-usia para manusia. Dia menjadi saksi dari berbagai hal, dari saat suara tangis seorang bayi menghirup oksigen dunia fana ini sampai bayi tersebut menjadi seorang manusia yang tidak berdaya dan menghembuskan napas penghabisannya. Saat anak manusia merasakan indah dan rapuhnya jatuh cinta, saat orang-orang meneteskan airmata duka ataupun suka mereka. Sungguh sombong dirinya menjadi saksi begitu banyak hal tertawa, bersua, bersuka, berduka sampai kalanya ada yang berdarah. Dia menjadi saksi yang tidak mau bersuara.

Jika kamu punya hati sedikit saja maka ingatlah dari begitu banyak manusia yang tak menyadari kehebatanmu, ada seorang gadis yang tidak ingin mengulang dan memperbaiki masa lalunya ataupun memburu masa depannya karena dia ingin berdamai dengan dirimu dan menganggapmu sebagai teman sejatinya sampai kulitnya keriput dan tulang-tulangnya tak sekokoh saat dia berlarian dengan bola basketnya sampai akhirnya dia pun menghembuskan simfoni syukur karena kamu menemaninya dan mau menjadi temannya yang baik dalam hidupnya yang hanya sekali di tubuh ini.

“Jadilah temanku, waktu.”


on Friday, August 14, 2009 at 12:45pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar