Jumat, 08 Juli 2011

MON

Maria…Ave Maria…

Menandakan tanganku akan terbangun lalu menyambar suatu alat bernilai tidak lebih dari enam ratus ribu rupiah, berwarna hitam dengan tombol berwarna hijau, merah dan banyak tombol yang berangka nol sampai sembilan seperti kalkulator yang tidak mengikutsertakan sin, cos, tan dan berbagai constanta science lainnya. Namun tanganku memilih untuk tombol hijau. Hanya dengan menekan tombol hijau itu tersambunglah dua orang yang dipisahkan oleh selat sunda. Mama-aku. Berbeda pulau. Melewati beberapa propinsi. Bangka Belitung-DIY. Pangkalpinang(nama kerennya Pinkong City)-Yogyakarta(nama bekennya Kota pelajar). Dan berakhir di jalan Bukit Intan – dan ragaku baru saja bangun di jalan paingan yang terkenal dengan belakangnya perumahan Elite Casa Grande.

Halo…Kusapa dengan jiwa yang masih harus aku kukumpulkan karena sebagian masih dalam alam mimpi tak berbentuk. Seharusnya kuucapkan juga selamat pagi. Tapi tidak kulakukan. Tak terbiasa dalam kamus orang tuaku. Jadi tak kulakukan.

Pembicaraan yang mengambil tema pernikahan, tiket, dan Bali. Berakhir pada perkataanku yang sedang berpikir rasional karena aku belum mendapat ijin dari dosenku untuk meloloskan diri dari acara pembekalan KKN tanggal 11-12 Juni 2009. Pernikahan kakak sepupuku terjadi pada dua sepupu menyimpulkan bahwa terjadi bookingan pernikahan dua kali untuk aku hadiri. Tanggal 7 Juni dan 14 Juni. Pastinya 2009 di Jakarta. Setidaknya harus kulewati lagi kurang lebih dua propinsi untuk sampai di Jakarta. Jawa tengah – Jawa Barat. Bali, tiket yang telah dipesan oleh kakak sepupuku juga tapi bukan yang menikah untuk sekadar mengisi waktu jenuh di antara dua pernikahan itu. Tiket sudah dibeli walau kepastian dosen belum kudapati. Pasrah akan hangusnya tiket perjalananku jika dosen berkata tidak. Jam 12 nanti janji bertemu dengannya untuk tahu apakah tiket Baliku hangus atau tertelan oleh kehadiranku di tanah Bali.

Kupaksa angkat tubuhku yang kian melar dari hari ke hari. Entah apa karena sugesti karena kemarin tidak fitness atau memang aku terlalu sadar karena beratku enam puluh lebih sedikit. Jangan percaya akan kata sedikitku tadi. Menyambar gayung, bergerak menuju tempat yang paling kusukai untuk merenung. Kamar mandi. Bilik termenung. Air yang terbuang beberapa gayung, beberapa cc sabun yang akhirnya membentuk gelembung sabun membuatku terkenang akan mata kuliah tegangan permukaan oleh karena adanya pengaruh kohesi dan adhesi. Tema yang juga judul skripsi yang harus kuselesaikan.

Jam menunjukkan pukul 09.13. Rell…Rell…Firella Tanshella…

Suara yang paling exist kudengar dalam keseharianku. Deasy. Berteman dengannya memiliki banyak keuntungan yang sebanding dengan menonton TV kisaran jam ibu-ibu rumah sebelah. Orang yang paling update akan berita-berita dari mulai selebritis sampai penjagal nyawa makhluk hidup yang bernama manusia. Untuk semua berita-berita itu lebih aku kenal dengan sebutan gossip. Ku hentakkan kakiku dengan berikrar pada gaya gravitasi untuk menuruni tangga boardinghouseku alias kost. Dan tak mengucapkan selamat pagi. Tujuan utama adalah perpustakaan. Begitu banyak buku yang kami berdua pinjam. Tak kusalahkan jika IP-ku menunjukkan angka 3 ke atas tapi akan kupersalahkan jika menyimpulkan buku-buku itu aku baca dan pahami. Tidak. Cuma sebagai pegangan yang menganggur dan berkerja aktif jika dosen berkata untuk membuka halaman sekian dan sekian. Batas pengembalian buku yang terlambat dan dikenai denda. Keterlambatanku dan keterlambatan Deasy, keterlambatan kami yang disadari menunjukkan jumlah hari sebanyak 317 hari. Hari dikalikan dua ratus rupiah. Bernilaikan Rp 63.400,- . Denda yang harus kami berdua bayar yang juga sebanding dengan creambath untuk dua orang di salon samping kampus. Mungkin masih ada kembaliannya. Tapi kenyataannya kami habiskan untuk denda.

Jam pagi berganti jam siang. Menandakan matahari meninggi. Padahal Bumi yang berputar. Mengarahkan laju pikiranku untuk makan siang walaupun tidak diawali dengan makan pagi. Deasy sudah pulang dari tadi dan aku sendiri. Jangan terburu-buru mengasihaniku. Makan sendiri paling aku sukai. Mungkin terbiasa. Pastinya terbiasa. Dompet berbicara lain soal makanan. Karena ini jaman yang tidak mungkin lagi untuk berburu dan makan dengan tidak memakai alat tukar yang berbahan kertas dan logam, bertuliskan angka, bergambar, dan yang terpenting terbalut benang pengaman yang menyatakan kertas ini sebagai lembaran yang sah untuk jual beli dari yang bernyawa sampai yang memang tidak bernyawa. Uang.

Pertemuan dengan dosen menemui jawaban akan pengijinan yang ia keluarkan untukku. Bali tunggu aku. Tiket sebagai jelmaan uang tidak jadi hangus. Lega.

Selesai menukarkan uang untuk makan. Berpikir keras untuk segera angkat berdiri menjauh dari tempat dudukku dan berkendara pulang. Motor dengan plat nomor BN. Motor dari Bangka. Saat kusiap berkendara mataku tertuju pada speedometer. Bukan, bukan speedometer karena belum ada pergerakan motorku terhadap tempat motorku terparkir. Agak ke sebelah kanan, jarum penunjuk berisyarat seakan-akan dia tahu aku pasti mengerti isyaratnya sekalipun aku tidak pernah belajar bahasanya. Jarum penunjuk berada di huruf yang paling tidak diminati oleh banyak mahasiswa selain F, D dan C. Dia adalah E. Artinya aku harus menunggangi motorku menuju tempat yang berwarna merah dan putih dengan seragam pegawainya bertuliskan ‘Pasti Pas’ dan dilarang merokok. Mengisi bensin. Usai mengikuti pengaplikasian mata pelajaran PPKN yang selama ini kuterima. Antri untuk bahan bakar motorku, aku pulang dengan kelelahan dan kuambil inisiatif untuk berbaring dan akhirnya kebablasan. Ngorok. Tidak. Aku belum pernah ngorok. Belum pernah dengar langsung maksudku.

Detik menjadi menit pada hitungan keenam puluh dan berganti jam pada hitungan keenam puluh juga berdiam diri melihatku terkapar dengan wajah lugu tak berdaya. Entah ke mana perginya jiwaku.

Drrrrr….drrrrr….drrrrr

Itulah efek yang ditimbulkan oleh handphone yang ku aktifkan profil ‘silent’. Di menit awal pendengaranku akan getarannya, namun hanya sebentar. Ternyata alarm. Sejenak aku memusatkan pikiranku yang masih terhanyut oleh kantuk. Apa tanda alarm ini. Karena aku terlalu pintar maka kuambil langkah yang sigap dan cepat ke arah bilik termenung untuk mencuci muka serta gosok gigi. Aku mau pergi cari makan. Itulah alasan alarmku berbunyi. Dompetku berbunyi sendu lagi.

Menjelang pukul 11 malam.

Tek.Tik. Cek. Gek. Tik…

Sebuah ritual sehari-hari yang harus dilakukan sebagai refleksi kehidupanku setiap hari. Ketikan yang terlatih pada keyboard komputerku. Sekaranglah kutulis semua yang terjadi hari ini tertanggal 3 Juni 2009. Dan jika ditanya apa judul untuk cerpen hidup hari ini, dengan tegas kusebutkan ‘ Uang ‘. Judulnya Uang. Dari semua keseharian yang telah kulewati hari ini, dari pagi sampai malam hari, semuanya berpautan mesra dengan uang. Dan aku tahu mengapa aku mencetak begitu banyak angka di menit dan pernah sampai jam hanya untuk berada di kamar mandi kostku karena di sanalah aku dapat sejenak berbaikan dengan namanya ‘uang’.

Bilik termenungku.

on Friday, August 14, 2009 at 12:47pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar